Rabu, 27 Juli 2011

cerita pendek buat alm.simbah aku . love u muach :*



Mentari Saat Petang Menjelang
 “Bagaimana ini Mbah?” tanya kakak sepupuku dengan nada khawatir. Terlihat wajah simbah yang  telah berkerut itu menyimpan kekhawatiran yang lebih. “ Ayo naik saja ke atas,” kata simbah dengan nada yang naik turun.  Kakak sepupuku pun mengantarkan simbah naik ke atas, ke dek kapal. Sebuah kapal yang akan mengantarkannya kembali ke Jogja, kini seakan menjadi ‘momok’ besar bagi simbah. Perlahan simbah yang tengah menaiki tangga untuk menuju ke dek kapal berhenti, memegang dadanya yang dirasanya detak jantungnya menjadi lebih  cepat ,  tak sebanding dengan langkahnya. Tak mampu lagi melanjutkan langkah kakinya. “Bagaimana, Mbah? Apa kita kembali saja ke dalam bus?” tanya kakak sepupuku pada simbah. Simbah hanya mengangguk pelan dan terus menunduk. Dipapahnya simbah kembali ke dalam bus.  Sesampainya di dalam bus, kakak sepupuku hanya terdiam melihat keadaan simbah seperti itu.
            Keadaan simbah tak kunjung membaik. Kakak sepupuku pun hanya dapat berdoa dan menyuguhkan senyumannnya pada simbah. Bus pun berhenti pada sebuah POM bensin. Kakak sepupuku pun turun untuk memberi kabar pada keluarga tentang keadaan simbah.
            “Allahu akbar Allahu akbar, La ila ha illallah,” kata simbah perlahan. Kata yang di ucapkan simbah dengan sangat lirih dan merintih, bersamaan dengan adzan yang tengah berkumandang. Di pandangnya langit-langit bus, simbah pun menangis. Di dapatinya sebuah jalan lain yang tak pernah ia temui sebelumnya. Tak tau apa yang dilakukan simbah untuk mempertahankan sukmanya yang di tarik dengan paksa, yang pasti sangat sangat menyakitkan. Tak dapat membayangkan bagaimana simbah harus berjuang sendirian, tanpa ada seseorangpun di sampingnya. Matahari pun terbenam, dan saat itu pun waktu simbah telah hilang, seakan di tarik bumi di sebelah barat bersama sang penerang.
            “Simbah..Simbah,” kataku perlahan penuh dengan keraguan. “Apakah benar semua ini? Apakah secepat ini Ya Allah, Engkau meminta simbahku kembali?” kataku dalam hati. Sebuah gejolak yang tak karuhan dalam hati. Gejolak yang membuat hatiku terasa berat, terasa sakit. Sebuah pemikiran yang membuatku hampir putus asa karena kutau semua ini tak kan kembali lagi.
            Hari itu hari Minggu, 23 Februari 2008. Dimana kenanganku bersama simbah terkubur bersama raganya. Tak kuasa lagi aku membendung air mata. Semua tumpah begitu saja. Teringat olehku bahwa kata simbah aku harus menjadi seseorang  yang kuat dan pantang menyerah. Menjadi seseorang yang tangguh dan menjalankan semua kebaikan dengan ikhlas. Pada akhirnya, kuputuskan untuk menyeka air mataku dan kembali bangkit. Ku ikhlaskan semua yang terjadi, karena memang itulah yang harus aku lakukan. Dan Allah sangat tak menyukai umatnya yang berputus asa. “ Inilah yang terbaik, inilah yang terbaik untuk semuanya,” kataku dalam hati, kata yang terus ku ulang-ulang.
            Keinginanku untuk mendengar banyak cerita menarik dari simbah selama di Palembangpun sirna sudah. Seakan simbah menyelesaikan segala urusannya dengan berkunjung ke Palembang. Karena yang kutau simbah memang mempunyai urusan yang harus diselesaikan di sana. Seakan perkataan itu benar, karena ini adalah kunjungan simbah yang terakhir mengingat fisik simbah yang tak sekuat dulu lagi, ditambah dengan penyakit jantung yang telah dideritanya.
            Semua itu terjadi saat aku tengah kelas dua SMP, saat-saat yang membuatku berlinang air mata. Kakek, yang biasa ku panggil simbah itu telah meninggalkan aku. Simbah yang sangat menyayangiku, sampai-sampai aku tak pernah kena marah olehnya. Simbah  mengajarkan aku tentang sebuah arti kehidupan. Memberiku banyak pengalaman hidup. Kembali kutata hidupku, ku ingat segala petuahnya. Harapnya agar aku menjadi anak sholeh, berbakti pada orang tua, dan mencapai masa depan yang gemilang. Terus belajar untuk sebuah perjalanan hidup yang harus selalu lebih baik. Dan kini pun aku tengah meracang masa depan itu. Kini aku telah sampai pada bangku SMA, di SMA N 1 Teladan Yogyakarta. Sebuah sekolah yang dikagumi banyak orang. Dan seandainya simbah masih bersamaku pasti simbah juga akan bahagia.
            Hari ini aku memulai belajar di SMA N 1 Yogyakarta ini. SMA N 1 adalah sekolah yang menggunakan sistem ‘moving class’. Dimana kita harus berpindah kelas saat pergantian pelajaran. “Cepat,cepat. Bergegas !!” kata seorang temanku yang memang menjadi pengurus kelas. Suasana sangat gaduh dan serba terburu-buru. Untungnya aku telah sampai lebih dulu daripada teman-temanku yang lain dan duduk dengan tenang. “Cepat,cepat!!,” kata temanku lagi. Mendengar suara itu, akupun teringat pada kejadian dua tahun yang lalu.
“Cepat,cepat, penumpang lanjut usia harap naik ke dek kapal!” kata petugas kapal. “ Pak, Pak, segera menuju ke dek kapal Pak!” kata petugas kapal itu pada simbahku. “Ada apa memangnya, Pak?” tanya simbahku pada petugas kapal tersebut. “Gelombang naik Pak, gelombangnya besar saat ini. Segera turun Pak!” kata Petugas itu lagi dengan nada yang terburu-buru. Simbah pun segera turun dari bus, bus yang telah masuk ke kapal untuk menyeberang selat Sunda menuju kembali ke Jogja setelah satu bulan berada di Palembang untuk melepas rindu dengan cucu-cucunya disana.  “Bagaimana Mbah?” tanya Kakak sepupuku dengan nada khawatir. Terlihat wajah simbah yang telah berkerut itu menyimpan kekhawatiran yang lebih. 







Bagian yang diperbaiki:
1.      “Bagaimana ini Mbah?”, tanya kakak sepupuku dengan nada khawatir.
Menjadi : “Bagaimana ini Mbah?” tanya kakak sepupuku dengan nada khawatir.
2.      Apa kita kembali saja ke dalam bus?”, tanya kakak sepupuku pada simbah.
Menjadi : Apa kita kembali saja ke dalam bus?” tanya kakak sepupuku pada simbah.
3.      Kinipun aku tengah meracang masa depan itu.
Menjadi :  kinipun aku tengah merancang masa depan itu.
4.      “Cepat,cepat!!,” kata tamanku lagi
Menjadi : “Cepat,cepat!!,” kata temanku lagi


Korektor : Afiani Muslikhah
Absen : 01

Tidak ada komentar:

Posting Komentar